Selasa, 10 Januari 2012

TAFSIR AYAT TENTANG IQTISHADIYAH



A.    Pendahuluan
Iqtishadiyah berarti mencari penghidupan, yaitu suatu kewajiban bagi manusia dan merupakan hal yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri dari sumber penghidupan, yakni termasuk bumi yang telah diciptakan Allah Swt sebagai tempat manusia mengemban tugas kekhalifahannya.
Yang dimaksud dengan sumber penghidupan manusia adalah: apa yang menjadi sandaran kehidupannya. Termasuk di dalamnya dimensi waktu dan tempat yang menjadi pokok kehidupannya. Seperti makan dan minuman, dan hal-hal lainnya yang menjadi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, dalam Al Quran difirmankan, yang artinya :
"Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan." [An Naba: 11]. Artinya, tempat untuk mencari penghidupan. Dalam Al Quran juga disebutkan:
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu (sumber) penghidupan." [Al A'raaf: 10]. kata-kata ma'asy dan ma'iisyah itu maksudnya adalah: apa yang menjadi penopang kehidupan manusia. [Lisan al Arab, dan Qamus al Musthalahat al Iqtishadiah fi al Hadharah al Islamiah].
Untuk memahami pandangan Islam tentang keamanan manusia atas penghidupannya dan kebutuhan-kebutuhan hidupanya, kita harus memahami dahulu pemahaman tentang pemberian kedaulatan kekhalifahan oleh Allah SWT kepada manusia untuk membangun bumi ini. Karena sikap Islam tentang hubungan antara manusia, kekayaan, dan harta, serta hak-haknya untuk mendapatkan nikmat dan kekayaan yang diciptakan oleh Allah SWT, yang disebarkan dalam alam ini, merupakan sikap Islam yang dibangun di atas filsafat kekhalifahan dan istikhlaf ini.
Pemberian amanat kekhalifahan ini, yang dikehendaki oleh Allah SWT, kepada manusia di muka bumi, adalah ungkapan yang paling tepat dan paling cocok untuk menjelaskan tentang kedudukan manusia dalam wujud ini, tentang risalah manusia dalam kehidupan dunia ini, dan tentang tugas Tuhan yang diemban manusia dalam perjalanannya di muka bumi ini.
Seseorang yang memberikan suatu tugas perwakilan kepada orang lain untuk menjalankan sesuatu hal, tentulah ia perlu memberikan batasan tentang tugasnya itu, batasan wewenang yang ia emban, dan prinsip-prinsip utama yang harus diperhatikan sebagai batasan kebebasannya dalam menjalankan tugas itu. Tugas kekhalifahan atau perwakilan yang diemban itu hanya bersifat perantara, tidak mencapai tingkat sang pemberi wewenang. Juga tidak sampai merendah hingga pada tingkatan seseorang yang tidak mempunyai kewenangan sama sekali dalam tugasnya itu.
Dengan pengertian kekhalifahan seperti inilah Islam melihat kedudukan manusia dalam wujud ini. Yaitu sebagai makhluk yang mengemban tugas kekhalifahan, yang mendapatkan wewenang untuk membangun bumi ini, dan yang mempunyai kehendak bebas untuk mengambil tindakan dalam batasan kewenangannya itu. Karena dengan sifat kebebasan yang beraturan itulah manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini. Namun demikian, kehendak bebas dan inisiatifnya itu harus tunduk dengan aturan-aturan dan batasan-batasan kewenangan tugas kekhalifahan atau syari'ah Ilahiah itu. Yang menjadi rambu-rambu, aturan, batasan dan skup operasional tugas perwakilan dan amanah kekhalifahan itu.

  
B.     QS. Al-An’am Ayat 141

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya : “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnaya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS. 6:141)

Dengan ayat ini Allah swt. menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung tanamannya. Dialah yang menciptakan pohon kurma dan pohon-pohon lain yang berbagai macam buahnya dan beraneka ragam bentuk warna dan rasanya. Sesungguhnya hal itu menarik perhatian hamba-Nya dan menjadikannya beriman, bersyukur dan bertakwa kepada-Nya. Dengan pohon kurma saja mereka telah mendapat berbagai macam manfaat. Mereka dapat memakan buahnya yang masih segar, yang manis dan gurih rasanya dan dapat pula mengeringkannya sehingga dapat disiapkan untuk waktu yang lama, dan dapat dibawa ke mana-mana dalam perjalanan dan tidak perlu dimasak lagi seperti makanan lainnya.
Bijinya dapat dijadikan makanan unta, batangnya, daunnya, pelepahnya dan seratnya dapat diambil manfaatnya. Kalau dibandingkan dengan pohon-pohon di Indonesia samalah pohon kurma itu dengan pohon kelapa. Allah membuahkan pula pohon zaitun dan delima. Ada yang serupa bentuk dan rasanya dan ada pula yang berlain-lainan. Allah membolehkan hamba-Nya menikmati hasilnya dari berbagai macam pohon dan tanaman itu sebagai karunia daripada-Nya. Maka tidak ada hak sama sekali bagi hamba-Nya untuk mengharamkan apa yang telah dikaruniakan-Nya. Karena Dialah yang menciptakan, Dialah yang memberi, maka Dia pulalah yang berhak mengharamkan atau menghalalkan-Nya. Kalau ada di antara hamba-Nya yang mengharamkan-Nya maka dia telah menganggap dirinya sama dengan Allah dan orang-orang yang menaatinya mempersekutukan Allah pula dan inilah syirik yang tak dapat diragukan lagi. Yang dimaksudkan dengan mengharamkan memakan di sini ialah menjadikannya haram untuk dimakan, bila dimakan tentu berdosa. Adapun melarang makanan karena dilarang dokter dan membahayakan kesehatan atau karena sebab-sebab lain yang membahayakan tidaklah termasuk syirik, karena kita diperintahkan Allah untuk menjauhkan diri dari bahaya.
Kemudian Allah memerintahkan untuk memberikan sebagian dari hasil tanaman di waktu selesai panen kepada fakir miskin, kaum kerabat dan anak yatim untuk mensyukuri nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia itu.
Ibnu Munzir, Abu Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abu Said Al-Khudry bahwa Rasulullah berkata tentang firman Allah :
وَءَاتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِه
Artinya : Tunaikanlah haknya di hari memetiknya (dengan dikeluarkan zakatnya). (Q.S Al An'am: 141)

Mujahid berkata tentang ini; apabila engkau sudah panen dan datang orang-orang miskin, maka pukullah tangkai buah yang kamu panen itu dan berilah mereka apa yang jatuh dari tangkainya itu; apabila engkau telah memisahkan biji dari tangkainya maka berilah mereka sebagian dari padanya. Apabila engkau telah menampi dan membersihkannya dan telah mengumpulkannya dan telah diketahui berapa banyak zakatnya maka keluarkanlah zakatnya.
Maimun bin Mihran dan Zaid bin Al-A'sam meriwayatkan bahwa penduduk kota Madinah, bila mereka memanen kurma mereka membawa tangkai-tangkai kurma ke mesjid lalu mereka letakkan di sana, maka berdatanganlah fakir miskin lalu dipukulkannya tangkai kurma itu dan diberikannya kepada mereka kurma yang berjatuhan dari tangkainya. Menurut Said bin Zubair, hal ini berlaku sebelum turunnya perintah zakat. Biasa seseorang memberikan sebagian dari hasil tanamannya untuk memberi makanan binatang, memberi sedekah kepada anak yatim dan fakir miskin dan biasanya memberikan seikat.
Pemberian ini adalah sebagai sedekah biasa. Yang menguatkan pendapat ini ialah karena ayat ini adalah ayat Makiyah sedang zakat diwajibkan pada kedua hijriah di Madinah.
Selanjutnya Allah melarang makan berlebih-lebihan karena hal itu sangat berbahaya bagi kesehatan dan dapat menimbulkan bermacam-macam penyakit yang mungkin membahayakan jiwa. Allah Yang Maha Pengasih kepada hamba-Nya tidak menyukai hamba-Nya yang berlebih-lebihan itu.
Kata “Hashadihi” memetik, dijadikan sebagai waktu penunaian kewajiban atau tuntunan memberi kepada orang lain, karena biasanya memetik hasil tanaman, bertujuan untuk menghimpun dan menyisihkannya untuk masa datang atau menjualnya. Walhasil pemetikan bukan bertujuan untuk memenuhi kepentingan mendesak untuk dimakan oleh pemilik dan keluarganya pada hari-hari terjadinya pemetikan itu. Penyisihan tersebut adalah indicator adanya kelebihan pemilik, dan dari sini lahir kewajiban atau anjuran menyisihkan sebagian untuk orang lain. Disisi lain panen tersebut, merupakan bukti konkrit adanya kelebihan bagi pemilik.
Asbabun nuzul
Ibnu Jarir mengetengahkan melalui Abu Aliyah yang telah mengatakan, "Mereka (kaum muslimin) memberikan sesuatu dari hasil perkebunannya selain zakat, sesudah itu lalu mereka berfoya-foya dengan selebihnya, kemudian turunlah ayat ini." Dan telah diketengahkan melalui Ibnu Juraij bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syimas yang menebang pohon kurma miliknya, kemudian ia bagi-bagikan buahnya hingga sore hari sesudah itu ia tidak lagi memiliki buah kurma.
Dari penjelasan di atas dapat di ambil pemahaman bahwa dalam perekonomian atau dalam hal ini digambarkan melalui pertanian, selain menyisihkan untuk bekal untuk masa akan datang, umat Islam juga dituntut harus memberikan sebagiannya kepada yang berhak menerimanya dalam bentuk sedekah atau zakat dari penghasilan tersebut. Dan dari situ akan tumbuhlah rasa solidaritas yang tinggi di kalangan umat Islam dan akan terciptalah masyarakat yang harmonis yang saling tolong menolong.

C.    QS. Al-An’am Ayat 99
 Yang artinya : “Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.

Ayat ini masih mengenai lanjutan bukti-bukti kemahakuasaan Allah Swt. Ayat-ayat yang lalu mengarahkan manusia agar memandang sekelilingnya, supaya ia dapat sampai pada kesimpulan bahwa Allah Swt Maha Esa dan kehadiran hari kiamat adalah keniscayaan. Yang dipaparkan untuk diamati pada ayat-ayat yang lalu adalah hal-hal yang terbentang di bumi, seperti pertumbuhan biji dan benih, atau yang berkaitan dengan langit seperti matahari dan bulan serta dampak peredarannya yang menghasilkan antara lain malam dan siang, selanjutnya dipaparkan juga tentang manusia, asal usul dan kehadirannya di bumi. Nah, ayat ini menguraikan kumpulan hal-hal yang disebut di atas, bermula dengan menegaskan bahwa Dan Dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.
Untuk lebih menjelaskan kekuasaan-Nya ditegaskan lebih jauh bahwa, Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.
Dalam mengomentari tentang ayat ini, para pakat tafsir mengemukakan bahwa ayat tentang tumbuh-tumbuhan ini menerangkan proses penciptaan buah yang tumbuh berkembang melalui beberapa fase, hingga sampai pada fase kematangannya. Pada saat fase kematangannya ini, suatu jenis buah mengandung komposisi zat gula, minyak, protein, berbagai zat karbohidrat dan zat tepung. Semua itu terbentuk atas bantuan cahaya matahari yang masuk melalui klorofil, yang pada umumnya terdapat pada bagian pohon yang mengolah komposisi zat-zat tadi untuk didistribusikan kebagian-bagian pohon yang lain, termasuk biji dan buah.
Lebih dari itu, ayat ini menerangkan bahwa air hujan adalah sumber air bersih satu-satunya bagi tanah. Sedangkan matahari adalah sumber semua kehidupan. Tetapi, hanya tumbuh-tumbuhan yang dapat menyimpan daya matahari itu dengan perantaraan klorofil, untuk kemudian menyerahkannya kepada manusia dan hewan dalam bentuk bahan makanan organic yang dibentuknya.
Dari penjelasan ini dapat diambil pemahaman bahwa Allah Swt memberikan gambaran :
1.      Tentang proses tumbuh-tumbuhan sebagai gambaran bagi manusia untuk berusaha itu harus butuh proses.
2.      Dan dalam proses tersebut tentunya manusia butuh berinteraksi dengan manusia lain (baik berupa berekonomi) untuk mencapai tanaman yang bagus dan baik.
3.      Kemudian dari proses tumbuhan yang membagi-bagikan zat-zat yang di dapat oleh bagian dari tumbuhan kepada buah dan bijinya itu, menggambarkan kepada manusia untuk selalu berbagi dengan sesame.
4.      Perlunya cahaya matahari dan air hujan dalam hal bercocok tanam.
5.      Pemahaman bagi manusia tentang Maha Kuasanya Allah Swt.

D.    QS. Yusuf Ayat 47-48
 Yang Artinya : “Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan

Mendengar pertanyaan yang diajukan atas nama Raja dan pemuka-pemuka masyarakat itu, tanpa menunggu sesuai dengan hapan penanya, langsung saja Nabi Yusuf berkata seakan-akan berdialog dengan mereka semua. Karena itu, beliau menggunakan bentuk jamak, “Mimpi memerintahkan kamu wahai masyarakat Mesir, melalui Raja, agar kamu terus menerus bercocok tanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa kamu bercocok tanam, yakni dengan memperhatikan keadaan cuaca, jenis tanaman yang ditanam, pengairan dan sebagainya. Maka apa yang kamu tuai dari hasil panen sepanjang masa itu hendaklah kamu biarkan dibulirnya agar dia tetap segar tidak rusak, karena biasanya gandum Mesir hanya bertahan dua tahun demikian pakar Tafsir Abu Hayyan, kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, akibat terjadinya paceklik di seluruh negeri yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit) itu yang dilambangkan oleh tujuh bulir gandum yang kering itu kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Itulah ta’wil mimpi Raja.
Sehingga, nantinya gandum itu bisa untuk makanan umat manusia atau ternak pada masa diperlukan. Sedikit sajalah yang kalian ambil dari hasil panen itu untuk kalian makan pada setiap tahun dengan cara hormat, sekedar untuk memenuhi kebutuhan, dan secukupnya saja untuk menghilangkan lapar.
Mimpi Raja ini merupakan anugerah Allah Swt kepada masyarakat Mesir ketika itu. Boleh jadi karena Rajanya yang berlaku adil walau tidak mempercayai kesaan Allah. Keadilan itu menghasilkan kesejahteraan lahiriah buat mereka.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dalam berusaha yang dalam ayat ini digambarkan dengan bercocok tanam, manusia harus memikirkan persiapan ke depan, yang mana tidak diketahui mana tahu tahun depan adalah masa paceklik. Dan apabila masa paceklik itu datang maka sudah ada persiapan untuk menghadapinya. Secara umum, dapat diambil pengertian bahwa dalam berusaha harus memikirkan persiapan untuk masa depan yang tidak seorang pun yang mengetahui bagaimana nasibnya ke depan.

E.     Kesimpulan
Dalam perekonomian atau dalam hal ini digambarkan melalui pertanian, selain menyisihkan untuk bekal untuk masa akan datang, umat Islam juga dituntut harus memberikan sebagiannya kepada yang berhak menerimanya dalam bentuk sedekah atau zakat dari penghasilan tersebut. Dan dari situ akan tumbuhlah rasa solidaritas yang tinggi di kalangan umat Islam dan akan terciptalah masyarakat yang harmonis yang saling tolong menolong.
Dari penjelasan QS. Al-An’am Ayat 99 dapat diambil pemahaman bahwa Allah Swt memberikan gambaran :
a.       Tentang proses tumbuh-tumbuhan sebagai gambaran bagi manusia untuk berusaha itu harus butuh proses.
b.      Dan dalam proses tersebut tentunya manusia butuh berinteraksi dengan manusia lain (baik berupa berekonomi) untuk mencapai tanaman yang bagus dan baik.
c.       Kemudian dari proses tumbuhan yang membagi-bagikan zat-zat yang di dapat oleh bagian dari tumbuhan kepada buah dan bijinya itu, menggambarkan kepada manusia untuk selalu berbagi dengan sesame.
d.      Perlunya cahaya matahari dan air hujan dalam hal bercocok tanam.
e.       Pemahaman bagi manusia tentang Maha Kuasanya Allah Swt.
Dari QS. Yusuf ayat 47-48 dapat dipahami bahwa dalam berusaha, manusia harus memikirkan persiapan ke depan, karena tidak diketahui tahun depan adalah masa paceklik. Dan apabila masa paceklik itu datang maka sudah ada persiapan untuk menghadapinya, karena tidak seorang pun yang mengetahui bagaimana nasibnya ke depan.

DAFTAR PUSTAKA


Al-Muraghi, Ahmad Musthafa. Terjemahan Tafsir Al-Muraghi, Juz 12¸Semarang : Toha Putra, 1988

http://c.1.asphost.com/slbin/alquran_surah.asp?pageno=/88/suratke=6#141.html

Imarah, Muhammad. Islam dan Keamanan Sosial, Penerjemah : Abdul Hayyie al Kattani, Jakarta : Gema Insani Press, 1999

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Juz IV, Jakarta : Lentera Hati, 2002

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah ; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an Juz VI, Jakarta : Lentera Hati, 2002